Rabu, 18 Maret 2009

Cinta Batu Tujuh

Cinta Batu TujuhArtikel Muslimah - Sunday, 27 January 2008Kafemuslimah.com Siang itu di sebuah tanah lapang,“Edo, Mimi cama Eky mana shih?, katana mau maen lagi… koq belom dateng yah?” Lia yang sedang duduk di atas ayunan yang terbuat dari tambang dan sebuah papan yang menggantung di sebuah pohon besar sepertinya mulai tidak sabar menunggu.“Iya nih. Biacana pada dateng duluan. Aku udah lapel lagi nih…” Fadia ikutan protes sambil mengelus perutnya yang buncit.“Sabal… Sabal. Ental juga pada dateng, kan kita janjianna jam dua” Edo coba menjelaskan.“Emang… e… cekalang jam belapa?” Eva yang sedari tadi menggores2 tanah dengan batu yang dipegangnya ikut bicara.“Tadi cih pash aku belangkat… em… kaya’nyah jam… belapa ya…?, aku lupa. Poko’nah… jalum panjangnah di angka empat… telush… em… jalum pendeknya di angka catu. Itu belalti jam belapah?” Faiz mencoba mengingat pukul berapa dia keluar rumah. Edo, Lia, Fadia dan Eva hanya mengangkat bahu dan menggeleng.Seperti biasa, anak-anak yang masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar ini memang selalu menghabiskan siang mereka di tanah lapang yang berada tak jauh dari rumah Fadia. Sebenarnya di kompleks ini juga terdapat sebuah taman bermain, tapi 7 bersahabat ini lebih senang bermain di tanah lapang ini. Alasannya karena selain di sini banyak pohon rindang yang membuat teduh suasana, juga karena mereka tidak suka jika harus bergabung dengan anak-anak kompleks sebayanya yang mereka anggap sebagai anak-anak usil. Mereka selalu bermain sepulang sekolah sampai adzan ashar berkumandang, karena kebiasaan mereka yang lain adalah mengaji di tempat Ustadz Romli setiap pukul 4 sore.Tak lama kemudian Eky dan Mimi datang. Eky membawa sebuah bola tennis dan melemparkannya ke arah Faiz.“Pais… tangkep…!!!”,“Ha…. Aduuuhhh…” Faiz yang kaget dan tak siap menangkap lemparan bola dari Eky, meringis karena bola tennis tersebut malah mengenai kepala botaknya. “Yah… Pais payah… ha ha ha ha…” Eva meledek Faiz diiringi tawa teman-teman yang lain.“Eh… koq pada lama banget cih datengna?” Lia turun dari ayunan dan langsung menghampiri dua sahabatnya yang baru datang.“Ma’ap yah… tadi coalnah… kita, diajak ngomong dulu… cama Bunda kita… ya bang, ya?” Mimi yang berusia paling muda dan satu-satunya dari mereka yang masih bersekolah di Taman Kanak-kanak mencoba menjelaskan.“Iya… kita mau diajak Bunda Sama Ayah kita ke tempat Tante Glace…” Eky menambahkan.“Emang…e… Tante… Tante Glace kamu, lumahna di mana?” Eva penasaran.“”Di Manado…” Mimi dan Eky serentak menjawab.“Manado dimana cih?” Fadia sepertinya sudah lupa akan rasa laparnya.“Ga tahu deh… tapi kata Bunda… kita kesana naik kapal terbang…” Eky menjelaskan.“UWAAAhhh… enak dong… nanti kamu bisa ketemu Supelmen dong…. Em… Eky, aku boleh ikut ga?” Edo memang sangat tergila-gila dengan Superhero yang satu itu.“Ye… ga boleh dong…. Ini’kan acala aku cama kelualga aku, ya bang, ya…?” Mimi langsung menjawab dengan suara cempreng dan dahi berkerut.“Iya, Do… kamu kalo mau naik kapal terbang, ke pasar malem aja tuh, di lapangan bola, kan ada… ha ha ha ha…” Eky menambahkan penolakan adiknya dengan ledekan, begitu mendengar ucapan Eky, Edo langsung merengut.“Eky jahat banget shih sama aku…” bibir Edo tambah monyong karena kesal.“Udah… udah… jangan belantem… Mimi, nanti kamu… pulang ke cini lagi, kapan?” Lia sedikit khawatir.“Ga tahu. Tapi kata Bunda, hali cenin kita belangkatnah…” Mimi mencoba mengingat kata-kata Ibundanya.“Ya udah… cekalang kan Eky cama Mimi udah dateng… langcung maen aja yu…, ental kebulu Asal loh… emang ga pada mau ngaji?” Fadia sudah tidak sabar.“Ya udah yu… kita main… mana batu cama bolanya?” Eva setuju.Mereka mengumpulakan batu pipih berwarna sebanyak tujuh buah dan menumpuknya. Kemudian mereka ber”hom-pim-pah”. Untuk yang pertama kali menjadi ‘penjaga batu’ adalah Eky. Lalu Eva, Edo, Mimi, Fadia, Faiz dan Lia berbaris di depan tumpukan batu tujuh tadi. Eva menjadi pelempar bola pertama, tapi meleset. Kemudian Edo melempar bola, meleset juga. Mimi melempar bola, bukan hanya meleset, tapi malah mengenai dengkul abangnya. Baru ketika Fadia ‘si endut’ yang melempar bola, batu tujuh itu berserakan. Mereka berlari mencari tempat bersembunyi yang tak jauh dari tempat dimana Eky menyusun kembali ketujuh batu pipih tersebut.Setelah tujuh batu itu tersusun rapi, Eky mengambil bola tennis yang berada sekitar dua meter darinya. Kemudia berusaha mencari tempat persembunyian teman-temannya dan adiknya. Lia adalah anak pertama yang tertangkap Eky, itu berarti Lia-lah yang nantinya akan menggantikan Eky menjadi penjaga batu.…***…Pada hari miggu sore, Eky mengundang kelima teman-temannya untuk datang ke rumah. Karena besok, Eky, Mimi dan Ayah serta Bunda mereka akan berangkat ke Manado.“Assalamu’alaikuuuummm……” kelima sahabat Eky datang dan serentak mengucapkan salam sesampainya di depan rumah Eky.“Eky… Mimi…” Faiz berteriak.“Apah… tunggu dulu…” Mimi juga berteriak dari dalam rumah.“Bundanya Mimi… emang… e… pada mau… kemana cih…?” Eva membuka pembicaraan setelah mereka semua masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang makan mengitari sebuah meja oval besar yang di atasnya sudah penuh oleh makanan.“Iiiihhh… Epah gimana cih… kan waktu itu Eky udah bilang cama kita… mau ke Colo tauouuu…!” Fadia yang sudah mengambil sepotong lemper menjawab sok tahu.“Bukan ke Solo, Fadia… tapi ke Manado…” Bunda meralat perkataan Fadia.“Ye… Padia salah tuh…” Eva yang merasa tersinggung oleh kata-kata Fadia tadi langsung memonyongkan bibirnya ke arah ‘si endut’. Teman-teman yang lain jadi mentertawakan Fadia yang sudah sok tahu.“Tapi ‘kan Colo deket ya Bunda… cama Manado…?” Fadia masih belum jera juga rupanya.“Ye… jauh… Manado kan di Cumatela ya, Bunda?” Faiz ikutan jadi sok tahu juga.“Bukan di Sumatera tauuu… di,… dimana deh, Bunda?” Eky yang merasa tahu jawaban yang sebenarnya jadi ikutan telmi juga.“Mimi tahu…!” Mimi langsung angkat bicara dan berlari ke arah buffet hitam yang tak jauh dari meja makan. Mimi kemudian membuka laci yang terdapat di bagian bawah sebelah kiri dan mengeluarkan sebuah buku Atlas Indonesia & Dunia berwarna merah.“Nih… Mimi kacih tau yah… NIH… Manado nih… di… S… SU… L… SUL… SULA…” Mimi mengeja nama pulau yang terdapat di bagian atas sebuah halaman. Kelima anak lainnya dan juga Eky menghampiri Mimi yang duduk di lantai dekat buffet hitam. Mereka ikut melihat gambar pulau yang sekilas bentuknya mirip seperti huruf K tersebut.“Oh… Sulawesiii…” kemudian mereka serentak menyebutkan namanya, membuat Mimi tersenyum bangga.“Iya… Culaweci… ‘kan tadi pagi… Bunda kacih tau Mimi, ya Bunda, ya?... jadinya Mimi tauuu… Mimi pintel ‘kan?” Mimi merasa jadi yang paling pintar. Dia tersenyum lebar menyebabkan gigi bagian atasnya yang keropos dan menghitam terlihat jelas.“Nah… Fadia, Eva, Lia, Edo, sama Faiz. Ayahnya Eky mau bilang terima kasih nih sama kalian karena udah dateng kesini. Nanti sampe di rumah, salam untuk Ayah sama Bunda kalian ya…” Ayah mengucapkan terima kasih kepada 5 sahabat anaknya ketika mereka semua selesai bersantap.“Ayahnya Mimi, e… Epah ‘kan… ga punya Ayah cama Bunda…”,“Koq, Eva ngomongnya gitu?” Bunda kaget.“Iya… kan Epah panggilnya… e… Mamih cama Papih” Eva dengan wajah polosnya.“Oooh…” Bunda dan Ayah saling menatap dan tersenyum.“Mimi… nanti kamu, ga ikutan main batu tujuh lagi dong…?” Faiz bertanya sambil memainkan ujung kaos birunya.“Emm… iya cih… gini ajah… emm… poko’nah kalo mau maen batu tujuh… halus tunggu aku cama bang Eky pulang dulu yah…?” Mimi jadi sedih.“Oh iya… tunggu sebentar ya…” Eky masuk kedalam kamarnya, tak lama kemudian muncul lagi dengan membawa bola tennis di tangan kanannya. “Nih, bola kastinya. Pegang aja, siapa tahu nanti kamu pada mau main sebelum kita pulang. Takutnya kita pulangnya lama…” Eky memberikan bola hijau muda itu kepada Faiz.“Ya… udah… sekarang kan sudah sore, kalian pulang yah. Bunda sama Ayahnya Eky mau beres-beres barang bawaan dulu. Jangan lupa salam untuk orang tua kalian ya…” Ayah, Bunda Mimi dan Eky mengantarkan Edo, Faiz, Fadia, Lia dan Eva sampai pagar.“Padia… Padia… jangan lupa ya… tungguin aku cama abang pulang dulu… awas loh… kalo maen batu tujuhnah duluan…” Mimi kembali mengingatkan teman-temannya.“Iya… tenang ajah, Mi…”,“Dah Mimi… Dah Eky… Dah Ayah… Dah Bunda… Dadaaaah…” mereka berpamitan.“Dadaahhh…”, Ayah, Bunda dan Eky masuk ke dalam rumah.“PADIA… NANTI AKU TELPON KAMU YA…” Mimi berteriak sambil melambaikan tangan kepada ke-lima sahabatnya.“OKeeee…” Fadia menoleh dan berteriak juga.“Hallo… Acalamu’alaikum… Tante… ini Mimi…, Padiana ada?” Mimi menepati janjinya untuk menghubungi Fadia dari bandara.“Haloh… Padia?... aku udah di bandala nih… iya… cama Ayah, cama Bunda, cama Bang Eky…” Mimi terdiam menunggu Fadia selesai berbicara.“Ooh… aku ga tau deh… bental yah, aku Tanya Bunda dulu…” Mimi menutup ujung bawah tepon genggam Ayahnya. Setelah menanyakan pada Bunda, Mimi kembali bicara pada Fadia di telpon.“Padiah… nama kapalna… Adam El… hah?... iya… iya yang walnanya olanye… he’eh…. Eh Padiah, udahan dulu yah… aku udah mau ke kapal telbangna nih… calamin buat Pais, Lia, Epah cama Edo, yah… hah?... iya… Ok… Dah Padiah… Acalamu’alaikum…”.Siang itu Mimi dan Eky beserta kedua orang tuanya meninggalkan bandara Soekarno-Hatta dengan menumpang pesawat Adam Air Boeing 737-400. Pada awalnya Mimi dan Eky ketakutan, tapi setelah pesawat dalam keadaan stabil, mereka kembali tenang.Di dalam pesawat, Ayah menyempatkan diri untuk berkirim sms dengan Tante Grace, adik perempuan ayah yang berada di Manado, sekedar mengabarkan keberangkatan mereka. “Bunda, coba temen-temen aku pada ikut yah… ‘kan enak, bica liat awan” Mimi berkata kepada Bunda sambil menikmati pemandangan diluar pesawat.“Bang… Bang Eky…” Mimi menggoyang kaki Abangnya yang duduk di sebelahnya dengan ujung sepatu pink pemberian Ayah.“Apa sih…?” Eky yang sedng menikmati es krim jadi merasa terganggu.“Katana Edo, kita bica ketemu Cupelmen, mana?”,“Iya… yah…, koq Supermennya belom muncul-muncul yah?. Tanya Ayah aja, gih”,“Ayah… Ayah… koq Cupelmennya ga ada deh?, lagi ngumpet ya, Yah?”. Belum lagi Ayah menjawab pertanyaan Mimi, seorang pramugari cantik berseragam orange keluar dari sebuah pintu dan menginstruksikan kepada seluruh penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman dan pelampung yang tersedia di bawah kursi.Beberapa penumpang panik dan berusaha bertanya. Tapi pramugari tersebut tidak menjawab dengan pasti, dia hanya mengatakan bahwa di depan pesawat ada segumpal awan badai tebal dan Kapten Pilot sedang berusaha untuk menghindar. Tanpa pikir panjang lagi, ayah memakaikan pelampung orange dan memasang sabuk pengaman kepada Eky. Sedangkan Bunda memakaikan pelampung dan sabuk pengaman pada Mimi. Setelah itu Ayah dan Bunda memakai untuk diri mereka sendiri.Benar saja, tak berapa lama, pesawat bergetar kencang. Mimi berteriak dan menangis, begitu pun Eky. Ayah dan Bunda memeluk mereka berdua dengan erat sambil terus membaca do’a, memohon kepada Allah agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan. Tapi semakin lama, keadaan pesawat semakin tak terkendali. Pesawat orange ini terombang-ambing tak tentu arah. Ayah, Bunda, Mimi dan Eky, serta seluruh penumpang dan awak pesawat tak ingat lagi apa yang terjadi. Tak ada yang tahu apa yang baru saja mereka alami. Semuanya hilang, tanpa bekas.…***...Playground school bell rings againRain clouds come to play againHas no one told you she’s not breathing?Hello, I’m your mind giving you someone to talk toHello…(Evanescence_Hello) Seminggu sudah sejak hilangnya pesawat orange itu. Fadia, Eva, Lia, Faiz dan Edo mulai dilanda rasa rindu pada kedua sahabat mereka, Mimi dan Eky. Fadia sempat mendengar Bundanya bicara dengan seseorang ditelpon sambil menangis. Ketika dia bertanya, Bunda hanya berkata : “Fadia, kirim do’a untuk Mimi, Eky dan Ayah serta Bundanya, yah… Mohon sama Allah semoga mereka selamat”.Fadia memang tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apalagi setiap kali dia bertanya lebih jauh, Fadia hanya akan melihat air mata yang semakin deras membasahi pipi Bunda tercintanya. Fadia tidak mampu bertanya lagi, dia masuk ke kamar dan berdo’a.Lia pun sempat bersedih ketika menonton televisi. Pasalnya, Lia melihat Tante Grace. Saat itu wanita yang dulunya adalah teman sekolah Mama dan sebelum pindah ke Manado sering berkunjung ke rumahnya itu sedang menangis dan mengatakan pada seorang wartawan, bahwa kakanya (Ayahnya Eky) sempat mengirimkan sms kepadanya untuk memberi tahu pesawat apa yang mereka tumpangi dan meminta dido’akan agar sampai di Manado dengan selamat.Siang ini, kelima bocah lugu itu berkumpul kembali di tanah lapang dimana mereka biasa bermain batu tujuh. Tapi, jika kemarin-kemarin wajah mereka cerah dan gembira, hari ini mendung seperti tidak mau pergi dari mata bening mereka.“Mimi cama Eky koq ga pulang-pulang yah?” Lia menggores-gores tanah dengan batu pipih merah yang digenggamnya, suaranya gemetar.“Iyah… aku kangen… banget cama Mimi… cama Eky…” mata Fadia memerah.“Eh… kan e… tadi pagi aku liat belita di tipi, maca katanah… pecawatnah Mimi… hiks.. hiks… tenggelem di laut… waaaaa…” Eva tak sanggup menahan rasa rindu dan sedih sekaligus.“Kalo… hiks… hiks… tenggelem di laut… hiks… nanti… Mimi cama Eky… hiks… dimakan ikan hiu ga ya…?.Hiks… huaaaa…” Edo ikutan sedih.“Koq pada ngomong yang celem-celem cih…?... hiks… aku kan jadi… hiks… cedih juga… huwaaaa…” Faiz menggenggam erat bola yang diberikan Eky.Langit yang tadi cerah berubah menjadi mendung. Menutupi matahari yang seolah turut bersedih melihat kelima sahabat itu menangis menahan rindu dan ketakutan akan kehilangan dua orang sahabat yang mereka sayangi. Faiz, Lia, Edo, Eva dan Fadia menghapus air mata yang membasahi pipi mereka. Satu per satu batu pipih berwarna merh mereka susun dan bersiap siap untuk “hom-pim-pah”, tapi…“Tunggu… hiks…” Fadia menghisap air mata yang memenuhi hidungnya sebelum melanjutkan kalimatnya,“Kita kan udah janji… hiks… mau tunggu Mimi cama Eky pulang dulu… hiks… nanti balu kita maen lagi… hiks… baleng-baleng…”.“Oh iya… untung Padia inget” Lia duduk lemas di dekat tumpukan batu tujuh disusul ke-empat temannya duduk mengitari tumpukan batu pipih merah itu.“Tapi kan… hiks… kita ga tahu… hiks… kapan Mimi cama Eky pulang… hiks…” Edo berkata sambil memainkan ujung kaos merahnya.“Telus e… gimana dong…?” Eva jadi bingung.“Jangan-jangan yang dibilang Edo benel lagi, hiks… Mimi cama Eky… hiks… hiks… dimakan ikan hiu… huwaaaa…” Faiz membuat ke-empat temannya kembali bersedih.Siang ini mereka tak jadi main batu tujuh. Mereka sepakat untuk menunggu sampai Mimi dan Eky pulang. Mereka memang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tak tahu kalau pesawat Adam Air Boeing 737-400 itu takkan pernah ditemukan. Yang mereka tahu dua sahabat tersayangnya akan menepati janji mereka untuk pulang. Mereka akan terus menanti, entah sampai kapan.…***…(eL Sya. 24 Februari 2007@19.40 Wib)